Diary Sienna
“Elang.”
Mata Kalindra terbuka lebar saat membaca satu buku lusuh yang ditariknya dari rak, delapan menit yang lalu.
“Oy.”
Elang menjawab tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk menumpuk beberapa buku tua yang ingin didonasikannya.
“Elang!”
“Apa?”
Netra Elang menangkap bening kaca rapuh di atas mata Kalindra. Kaca itu pecah bersamaan dengan air mata yang turun deras, membuat mimik penyesalan terlihat jelas di wajah.
Ah, itu buku diary Sienna. Buku yang Sienna minta agar dia buang dan hancurkan hingga tak bersisa.
“Ternyata Sienna suka Kaleo,” urainya serak.
“Ternyata crush yang selama ini dia ceritain itu Kaleo.”
Elang hanya berdiri di seberang, memperhatikan ratapan Kalindra yang entah harus disyukurinya entah tidak.
“Kenapa dia diam aja waktu tahu Kaleo nembak gue? Kenapa dia gak ngomong apapun?”
Wajahnya sembab, merah karena tangisan yang menurut Elang tak ada gunanya.
Elang tersenyum, kembali memasukkan beberapa buku. Kepalanya menggeleng kecil, bingung bagaimana harus menyikapi.
“Lo bilang apa tadi Lin?”
Elang menoleh, mendapati eksistensi Kaleo di ambang pintu. Wajahnya terkejut, menatap Elang dan Kalindra bergantian.
“Lang.” Panggilnya menuntut penjelasan.
“Itu alasan kenapa dia terus menghindar sampai pergi jauh dari kalian.”
Elang menjawab dengan nada tenang sekali, seperti tak ada keinginan untuk menghakimi.
Isak Kalindra semakin terdengar, membuat Elang sedikit jengah.
“Ini, kenapa gue bilang dia sengaja ninggalin banyak hal di sini. Termasuk buku diary, juga dia yang pergi tanpa pamit.”
Elang menjelaskan sambil terus memasukkan buku ke dalam kardus. Nadanya tak berubah, seakan tak tertarik pada hal yang sudah dua tahun terlewati.
Lagipula apa untungnya membicarakan masa lalu dari sakit hati seseorang yang memilih pergi?
“Kenapa—”
“Dia gak mau nyakitin kalian. Satu, temen masa kecilnya, satu lagi temen cewek satu-satunya.”
“Bahagia kalian lebih berharga dari perasaannya.”
Elang menatap keduanya dengan ekspresi tenang tapi sorot matanya tajam.
“Kenapa? Kaget ya?”
Senyum di bibir Elang merekah. Entah bermakna kan apa.
“Kenapa baru sekarang? Kenapa gue baru tau disaat gue telat sadar?”
Sekarang giliran mata Kaleo berubah merah. Tubuhnya terlihat sedikit bergetar.
Elang mengangkat kardus, berjalan keluar ruangan. Mendorong mundur tubuh Kaleo agar memberinya jalan.
“Gue juga gak tau kenapa baru sekarang,” jawabnya pelan.
“Mungkin waktu mau ngasih tau, ada hal penting yang dulu kalian lupain.”
Elang mengalihkan pandangan ke arah Kalindra yang masih menangis. Kemudian tersenyum tipis, menepuk pundak terkejut Kaleo yang masih keras.
“Gue balik lagi nanti.”
Aku tahu ini jahat tapi, selamat menikmati sakit hati.