goldenhourr

Pantai dan kenyataan — Kalindra


Kemarin aku memaksa Kaleo pergi ke pantai bersama. Ada yang ingin ku pastikan dan itu harus di sana.

Sebenarnya bukan tanpa alasan aku mengajaknya ke sini. Pantai ini tempat Kaleo pertama kali menyampaikan isi hati.

Walau aku sudah lama tidak ke sini, aroma laut juga angin segarnya tak pernah berubah, tapi suasananya sudah.

Ku coba menutup mata merasakan semilir angin. Lalu semua pertanyaan yang berputar di otakku bertemu dengan jawabannya.

Tanpa harus berpikir terlalu lama ternyata jawaban itu sudah ada, tapi sayangnya aku baru dapat menyadari itu sekarang.

Bodoh sekali. Karena hal kecil itu aku sampai seperti ini.

Ku buka mata dan ku alihkan ke Kaleo di samping.

Tatapan kami bertemu. Wajahnya menatapku tanpa ekspresi.

Lalu satu kata yang sama terucap secara kebetulan.

“Maaf.” Katanya.

Pantai dan kenangan — Kaleo

Buku baru — Sienna


Setelah lama bergelut dengan perasaan yang salah akhirnya dadaku lapang juga.

Teman lama, dengar, hatiku sudah sembuh dari sakit yang seharusnya tak pernah ada.

Kali ini buku ku yang baru sudah siap.

Terima kasih ya sudah membantu ku melupakan semua.

Aku tak bohong kalau aku juga ikut merasa bahagia untuk mereka berdua.

Selamat berbahagia untuk kita bertiga.

Judul: Kalimat terakhir untuk menutup buku yang ditinggal di kota lama.

Kaleo, Kalindra, selamat ya. Semesta benar-benar mengatakan jika kalian memang ditakdirkan bersama.


Judul: Buku baru Sienna

Saat cerita ku dengannya selesai di buku yang lama. Aku menemukan nama lain di buku ku yang baru.

Diary Sienna


“Elang.”

Mata Kalindra terbuka lebar saat membaca satu buku lusuh yang ditariknya dari rak, delapan menit yang lalu.

“Oy.”

Elang menjawab tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk menumpuk beberapa buku tua yang ingin didonasikannya.

“Elang!”

“Apa?”

Netra Elang menangkap bening kaca rapuh di atas mata Kalindra. Kaca itu pecah bersamaan dengan air mata yang turun deras, membuat mimik penyesalan terlihat jelas di wajah.

Ah, itu buku diary Sienna. Buku yang Sienna minta agar dia buang dan hancurkan hingga tak bersisa.

“Ternyata Sienna suka Kaleo,” urainya serak.

“Ternyata crush yang selama ini dia ceritain itu Kaleo.”

Elang hanya berdiri di seberang, memperhatikan ratapan Kalindra yang entah harus disyukurinya entah tidak.

“Kenapa dia diam aja waktu tahu Kaleo nembak gue? Kenapa dia gak ngomong apapun?”

Wajahnya sembab, merah karena tangisan yang menurut Elang tak ada gunanya.

Elang tersenyum, kembali memasukkan beberapa buku. Kepalanya menggeleng kecil, bingung bagaimana harus menyikapi.

“Lo bilang apa tadi Lin?”

Elang menoleh, mendapati eksistensi Kaleo di ambang pintu. Wajahnya terkejut, menatap Elang dan Kalindra bergantian.

“Lang.” Panggilnya menuntut penjelasan.

“Itu alasan kenapa dia terus menghindar sampai pergi jauh dari kalian.”

Elang menjawab dengan nada tenang sekali, seperti tak ada keinginan untuk menghakimi.

Isak Kalindra semakin terdengar, membuat Elang sedikit jengah.

“Ini, kenapa gue bilang dia sengaja ninggalin banyak hal di sini. Termasuk buku diary, juga dia yang pergi tanpa pamit.”

Elang menjelaskan sambil terus memasukkan buku ke dalam kardus. Nadanya tak berubah, seakan tak tertarik pada hal yang sudah dua tahun terlewati.

Lagipula apa untungnya membicarakan masa lalu dari sakit hati seseorang yang memilih pergi?

“Kenapa—”

“Dia gak mau nyakitin kalian. Satu, temen masa kecilnya, satu lagi temen cewek satu-satunya.”

“Bahagia kalian lebih berharga dari perasaannya.”

Elang menatap keduanya dengan ekspresi tenang tapi sorot matanya tajam.

“Kenapa? Kaget ya?”

Senyum di bibir Elang merekah. Entah bermakna kan apa.

“Kenapa baru sekarang? Kenapa gue baru tau disaat gue telat sadar?”

Sekarang giliran mata Kaleo berubah merah. Tubuhnya terlihat sedikit bergetar.

Elang mengangkat kardus, berjalan keluar ruangan. Mendorong mundur tubuh Kaleo agar memberinya jalan.

“Gue juga gak tau kenapa baru sekarang,” jawabnya pelan.

“Mungkin waktu mau ngasih tau, ada hal penting yang dulu kalian lupain.”

Elang mengalihkan pandangan ke arah Kalindra yang masih menangis. Kemudian tersenyum tipis, menepuk pundak terkejut Kaleo yang masih keras.

“Gue balik lagi nanti.”

Aku tahu ini jahat tapi, selamat menikmati sakit hati.

Kaleo Gilang Raya


Kaki ku rasanya membeku saat mendengar suara lirih Kalindra dengan tangisnya mengatakan isi diary Sienna.

Sienna sudah sejak lama menyukai ku. Dia menyimpan perasaannya lalu memilih pergi demi kebahagiaan ku.

Setelah selesai ku baca buku tipis itu, seketika aku langsung tersadar.

Pantas saja aku selalu merasa ada yang kurang. Ada yang hilang.

Ternyata yang selama ini ku cari dari awal sudah ada di sisi.

Semua hal yang ku lakukan dengan Kalin hanyalah mengulangi memori. Padahal pemilik asli tak pernah pergi.

Lalu buku diary Sienna menjelaskan hal yang sempat ku ragukan sebelumnya.

Aku dan Kalindra sejak awal tak pernah jatuh cinta.

Dan setelah tiga tahun bersama, kami baru menyadari itu semua.

Setelah banyaknya hal yang membuat kami bertanya-tanya, apa, kenapa, dan bagaimana, ternyata jawaban dari semua pertanyaan itu tak pernah ada.

Karena rasa penasaran dan imajinasi konyol ku itu, aku bukan hanya kehilangan Sienna, tapi juga kesempatan untuk kembali mendapatkannya.

Mimpi — dari Kaleo


Biar ku katakan satu hal, pantulan bayang dari cermin di kamar ini tak dapat menyembunyikan kegugupanku.

Ini jam empat lima puluh pagi. Dua jam lebih cepat dari biasanya aku bangun.

Huuuhh.

Bahkan tarikan napas pun rasanya tak dapat membuat jantungku berdetak lebih tenang.

Sebenarnya...

Malam tadi aku bermimpi, memasangkan cincin ke jari manisnya.

Saat bangun jantungku berdebar, tak yakin pertanda apa yang datang.

Melihat kotak merah muda di atas meja juga foto yang terpajang di sana membuatku merenung.

Mimpi itu jelas sekali. Harum tubuhnya. Telapak tangannya yang lembut. Senyum manis di wajahnya yang bulat.

Dan juga, suaranya. Semuanya terasa nyata.

Karena itu saat aku bangun tadi, jantungku ini rasanya berdetak lebih cepat dua kali.

Kotak itu segera ku raih. Ku timbang-timbang dengan tangan sampai tak sengaja jatuh ke lantai dan terbuka.

Benar. Aku memesan cincin itu untuknya, jadi mari kita lakukan segera.

Dua hari lagi, sampai hari itu tiba aku akan melamarnya.

Saat itu...


Sehari sebelum keberangkatan Sienna

“Mau minta tolong.”

Sienna menepuk dua bahu Elang dari belakang. Agak mendongak karena tubuh Elang yang jauh lebih tinggi.

“Minta tolong apa?”

“Buangin buku-buku yang ada dikardus itu dong.”

Sienna menunjuk kardus di bawah meja, lalu mendorong tubuh Elang.

“Yang ini?”

“Iya,” kata Sienna menoleh sekali. “Awalnya mau gue bakar tapi karena kemarin hujan akhirnya gak jadi.”

Elang mengangguk kecil, Menarik kardus untuk melihat isinya. Ditariknya satu buku paling bawah, berwarna coklat hampir terbakar di sisi kanan.

Dibukanya halaman pertama. Sienna Gracelynn. Dari mimpi, harapan dan mungkin saja, cinta.

Dia diam sebentar, melirik Sienna dari ujung mata lalu membalik ke halaman paling akhir.

Aku mau kamu, tapi kamu mau dia. Lalu aku harus meminta apa pada semesta?

“Elang, kok malah diem. Tolong buangin.” Pinta Sienna agak merengek pada sepupunya.

Elang tersenyum tipis. Berdiri mengangkat kardus lalu berjalan keluar ruangan. Kepalanya menoleh sekali ke arah Sienna yang masih sibuk memasukkan barang bawaan.

Ternyata memang sudah bertekad untuk melupakan.

Kalindra Agatma


Ada sepuluh lembar.

Sisa kertas dari diary —buku tipis usang— yang lebih banyak dirobek.

Warnanya coklat. Terbakar sedikit di ujung kanan.

Saat ku buka, lembar pertama tertulis “Sienna Gracelynn. Dari mimpi, harapan dan mungkin saja, cinta.”

Aku tersenyum saat membaca.

Isinya adalah semua hal yang disukai Sienna. Bucket list yang sudah dicentang beberapa, dan juga, nama yang tak asing bagi kami berdua.

Kaleo Gilang Raya. Untuk kamu yang aku suka.

Mataku melebar. Ku tarik tangan menutup mulut, segera membalik halaman pertama.

Sienna suka bunga tulip merah muda. Aroma pantai juga debur ombak di bawah kakinya. Dan semua hal yang sering ku lakukan dengan Kaleo saat dia dan aku masih bersama.

Dua bahuku melorot tajam ke bawah.

Pantas saja. Mengingat perpisahan ku dengan Kaleo dan perasaan ku yang biasa saja setelahnya, menjelaskan semuanya.

Oh Tuhan, ternyata memang benar begitu.

Semua bunga tulip itu, seharusnya memang bukan untukku.

Perasaan cinta Kaleo sejak awal memang tak pernah menjadi milik aku.

Dan perasaan sayang ku padanya hanya sebatas harapan semu.

Kaleo dan aku tertipu.

Semua perasaannya milik Sienna. Perasaan ku juga sepenuhnya tak pernah jadi milik Kaleo seutuhnya.

Aku tidak pernah memberikan perasaan itu secara nyata.

Kaleo dan aku, tak sadar telah gagal menjelaskan perasaan kami berdua.

Kami pikir, cinta kami adalah nyata padahal sebenarnya kami hanya mengulur waktu, membelenggu perasaan yang semakin lama semakin ingin berpisah.

Nyatanya itu bukan rasa cinta tapi tipu daya adrenalin dan imajinasi kami yang terus berpikir bagaimana rasanya jika kami bersama.

Lalu akhirnya di waktu yang jauh dari tepat, aku tersadar.

Aku bukan hanya menyakiti hati Sienna. Tapi juga menyakiti perasaan ku karena telah mengkhianatinya tanpa sengaja.

Sienna merelakan perasaannya demi imajinasi konyol ku dan Kaleo yang sebenarnya tak pernah saling jatuh cinta.

Akhirnya pulang.


Sienna memperhatikan jalanan kota dari jendela mobil. Walau diterpa gerimis, jalanan kota dikala malam masih sangat menawan.

Dibukanya jendela sedikit, membiarkan angin dingin menusuk wajahnya.

“Dingin Na.”

Sienna menoleh, di sebelahnya Elang sedang bergidik. Menjatuhkan jaket berwarna hitam ke atas pangkuan.

“Jangan sampai kedinginan.”

Dua puluh dua menit berkendara, mobil Elang akhirnya sampai di bandara.

Sienna melihat jam, tujuh tiga puluh sembilan.

“Boarding jam berapa?”

“Jam delapan.”

“Sepupu.”

Sienna mendongak, tersenyum melihat Elang melebarkan tangannya minta dipeluk.

“Makasih ya.” Kata Sienna.

Elang melepaskan pelukan sambil mengacak rambut Sienna pelan.

“Gue titip salam buat Om sama Tante.”

Sienna mengangguk, menarik koper ke dekatnya lalu melambaikan tangan ke depan wajah Elang.

“Gue duluan.”

Sienna menyeberang sendirian. Berbalik melambai lagi sebelum kakinya benar-benar melangkah pergi.

Aku juga ingin menitipkan beberapa hal. Salah satunya, cerita yang ku paksa selesai tanpa permulaan.

Aku titip semua yang ku tinggal. Biar kota ini kubur bersama kenangan. Dan biarkan waktu membuatnya jadi usang.

Terima kasih untuk segalanya. Untuk semuanya. Juga untuk cerita kita.

Selamat tinggal ya kalian berdua. Semoga berbahagia sampai tua.

Pantai penuh kenangan


Sienna menarik napasnya dalam-dalam. Membiarkan angin laut menerpa wajah hingga membuat rambutnya berantakan.

Halo teman lama, aku kembali lagi.

Bibirnya tersenyum, menatap hamparan biru dengan rasa rindu menggayut manja di dada.

Satu langkah. Dua langkah. Hingga air laut membenamkan setengah kakinya.

Rasanya sudah lama sekali ya.

Sejak hatinya terluka, dia memutuskan untuk berhenti sebentar menemui teman lamanya.

Teman dikala kalut dan senangnya.

Rasanya nyaman, membiarkan setiap memori jatuh bersamaan dengan air mata.

Membiarkan darah dari luka dibawa air laut jauh entah ke mana.

Sienna menarik tangan, mengusap kasar pipi dan mata. Kemudian, senyum tulus seperti biasa kembali menghiasi wajah.

Bawa jauh-jauh ya, rasa sakitnya. Aku ingin bahagia tanpa melukai mereka.

“Sepupu, jangan jauh-jauh. Gue gak bisa berenang.”

Teriakan Elang membuatnya tertawa. Ditolehkannya kepala ke belakang lalu mengangguk. Berbalik dan berjalan mendekati Elang yang menjulurkan tangan.

Kita sudah memutuskan berhenti. Karena itu, hati ayo lebih berani lagi.

Langkah terakhir sebelum kakinya benar-benar pergi, meninggalkan hangat air laut di bawah kaki.

Senang bertemu denganmu lagi. Teman.